Sepasang
gunung kokoh berhadapan bagai menara kembar yang terletak di perbatasan
Kabupaten Wonosobo dan Temanggung Jawa Tengah tersebut dikenal dengan
nama Gunung Sindoro (Sundoro) dan Gunung Sumbing. Masing-masing memiliki
ketinggian 3.153 mdpl dan 3.371 mdpl. Kedua gunung ini hanya dipisahkan
jalan raya yang menghubungkan Kota Wonosobo dan Kota Temanggung. Karena
itu akses menuju kedua gunung ini sangat mudah, sehingga banyak pendaki
memutuskan untuk menaklukkan keduanya sekaligus, yang dikenal sebagai
ekspedisi "Double S".
Menurut
legenda setempat, kedua gunung ini adalah sepasang suami istri. Gunung
Sumbing sebagai suami, dan Gunung Sindoro sebagai istrinya. Asal nama
Sindoro pun berasal dan kata Si Ndoro yang berarti si wanita. Di
punggung Gunung Sindoro menempel sebuah gunung yang dikenal sebagai
Gunung Kembang dan dipercaya sebagai ‘putri’ dari kedua gunung tersebut.
Terlepas dari legenda tersebut, memang merupakan sensasi tersendiri
jika berhasil menaklukkan keduanya sekaligus. Karena letaknya di
tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah, maka para pendaki dapat menyaksikan
gugusan gunung berapi di Pulau Jawa. Dari puncak Gunung Sindoro maupun
Gunung Sumbing dapat disaksikan megahnya Gunung Slamet di arah Barat,
Gunung Ciremai di Barat Laut, Gunung Merbabu dan Merapi yang senantiasa
mengepulkan asap di sebelah Timur, serta Gunung Lawu di Timur jauh.
Musim
pendakian terbuka sepanjang tahun. Paling ramai biasanya berkisar saat
liburan di bulan Juli hingga September. Namun pendaki harus ekstra
hati-hati pada musim hujan karena di kedua gunung tersebut sering
tenjadi badai angin, terutama di Gunung Sumbing. Ada waktu-waktu
tertentu ketika kedua gunung tersebut ramai didaki. Gunung Sindoro ramai
didaki pada 1 Suro dalam kalender Jawa, sedangkan gunung Sumbing
biasanya ramai dipadati pendaki pada 21 Ramadhan kalender Islam. Menurut
warga lokal, hal ini telah menjadi ritual adat turun temurun.
HOW TO GET THERE
Bagi yang berasal dari Jakarta, dapat menggunakan bus dengan tujuan
Temanggung atau Wonosobo. Kemudian dilanjutkan naik bus kecil jurusan
Wonosobo-Temanggung-Magelang. Bagi yang memilih untuk menggunakan
kendaraan pribadi, akan lebih mudah. Tinggal mengikuti petunjuk jalan
yang ada. Namun harus memperhatikan stamina, karena pendakian kedua
gunung ini akan menguras tenaga. Untuk menjaga stamina, sebaiknya
menyiapkan waktu lebih lama untuk me-recharge tenaga. Kita bisa menyewa penginapan di kota atau memutuskan langsung menginap di basecamp. Semua tergantung pilihan dan kondisi keuangan yang ada.
kunjyngi juga
GUNUNG SINDORO
Untuk mendaki Gunung Sindoro pertama-tama kita harus melapor ke
basecamp
di Desa Kledung, di sisi kiri jalan dari arah Wonosobo. Kledung
terkenal dengan perkebunan tembakaunya. Saat musim panen, hampir di
setiap teras rumah terdapat daun tembakau yang sedang dikeringkan. Air
adalah hal yang sangat vital dalam pendakian Sindoro, karena tiadanya
sumber mata air hingga ke puncak. Sangat disarankan untuk menyetok
persediaan air sebanyak mungkin dari
basecamp. Trik lain untuk
menghemat air adalah berjalan pada malam hari, sebab Gunung Sindoro
terkenal gersang, ditambah dengan trek ladang tembakau yang tidak
terlindung pohon.
Dari
ujung perkebunan warga menuju Pos I vegetasi berupa semak, namun jalur
masih terbilang landai dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Jika melakukan
pendakian malam hari, jalur dari Pos I ke Pos II sering menyesatkan,
karena terdapat persimpangan (yang benar adalah jika menemui jalur yang
sedikit menurun, tapi tak lama kemudian menanjak kembali). Perjalanan
dari Pos I ke Pos II sekitar 1,5 jam. Perjalanan baru mulai terasa
mendaki selepas Pos II. Vegetasi cemara dan kaliandra mulai mendominasi.
Di jalur ini, ada sebuah batu besar seperti tembok, tanda dimulainya
trek batu yang sangat terjal dan menguras tenaga. Pos III berupa
lapangan sangat luas, bisa menampung banyak tenda. Tapi keadaannya yang
terbuka membuat angin terasa sangat kencang. Tidak mustahil tenda bisa
terbang jika kosong dan tidak dipancang dengan kuat. Biasanya pendaki
meninggalkan peralatan dan tenda mereka di pos ini (sebagal
checkpoint)
dan mendaki ke puncak hanya membawa peralatan pribadi, air, dan makanan
kecil. Hal ini dilakukan untuk menghemat tenaga dan waktu.
Dari
Pos III, vegetasi hutan kaliandra (lamtoro gunung) mendominasi kembali.
Konon, dulu dari Pos III adalah pintu masuk Hutan Raya Sindoro. Puncak
Gunung Sumbing di seberang terlihat sangat jelas dari Pos III. Puncak
Sindoro sendiri tidak terlihat, hanya puncak bayangan yang terlihat.
Kering, gersang, dan berbatu. Seperti itulah gambaran jalur pendakian
menuju puncak pada umumnya. Trek hutan kaliandra sangat singkat,
kemudian vegetasi hanya berupa perdu. Keadaan jalur lumayan terjal,
tetapi masih ada landainya sesekali. Dari sini jangan tertipu dengan
puncak yang ada di depan mata, itu adalah puncak bayangan. Terhitung ada
tiga puncak bayangan di Gunung Sindoro ini. Setelah melewati dua puncak
bayangan, kita akan menemui vegetasi Perdu Edelweiss, yang biasa tumbuh
di ketinggian 2.000 meter. Dari padang Edelweiss, puncak tidaklah jauh.
Ketika
sampai di Puncak Sindoro, yang pertama terlihat pastilah kawah mati.
Kaldera Sindoro terbilang kecil, hanya butuh kurang dari setengah jam
untuk berjalan mengitarinya dan tidak terlalu dalam sehingga dapat
dituruni. Di musim hujan, kawah dipenuhi air bagai kolam renang yang
airnya dapat diminum (tidak mengandung belerang). Di kawah ini banyak
batu yang disusun nama-nama orang yang sudah sampai di puncak. Di
sebelah utara kawah, terdapat sebuah dataran berpasir seluas dua kali
lapangan bola yang dinamakan "Segoro Wedi". Bisa saja dipakai sebagai
tempat menginap, tetapi tidak akan terbayangkan betapa kencang anginnya.
Dari puncak, jika langit cerah, kita dapat menyaksikan puncak Sumbing
yang memang berhadapan di sebelah selatan. Belum lagi pemandangan di
atas awan yang rasanya membuat kaki ini tidak mau turun lagi ke bawah.
Rasa lelah pun hilang seketika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar